[:id]Oleh: Mohammad Monib
Setelah vakum sekian waktu, kemaren di sekitaran Gedung Sarinah, kita kembali bisa menyaksikan kebiadaban kaum teroris. Membunuh manusia tanpa pandang korban dan situasi. ISIS mengaku bertanggung jawab. Yang menarik warga Jakarta menikmatinya sebagai sebuah entertainment, hiburan belaka. Bahkan muncul hasta: KAMI TIDAK TAKU TEROR.Tentu kita berduka mendalam atas korban2 yang meninggal atau pun luka-luka.
Sejak tahun 2001, kita kian akrab aksi-aksi bom bunuh diri, termasuk nama-nama pelakunya. Ada Atta dan kawan-kawannya, yang tubuhnya menjadi debu bersama pesawat dan bangunan twin tower WTC (9/11/02). Amar Latin Sani tercabik-cabik di Hotel JW Marriot dan kepala Salik Firdaus tersisa ditumpukan kursi-kursi cafe dalam Bom Bali 2. Masih banyak lagi nama dan tubuh-tubuh lain yang hancur lebur dalam bom bunuh diri Bali 1 dan Kedubes Australia. Belakangan, pasca pendudukan Irak oleh tentara kolonial Amerika, aksi-aksi model itu menjadi pilihan rakyat Irak, entah untuk melumpuhkan tentara agresor itu, atau untuk saling menghancurkan sesama rakyat negeri seribu satu malam itu. Tulisan ini, meski tetap pada genre bom bunuh diri, namun mencoba menyajikan, aksi ini memiliki logika, strategi tersendiri, dan ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejuang muslim.
Strategi Logis Bom Bunuh Diri
Ada 2 model bom bunuh diri, termasuk motivasi dibalik fenomena yang mengerikan itu. Pertama, motivasi dan spirit pendorongnya, karena ideologi atau doktrin keagamaan. Tujuannya, karena tanah air (nasionalisme)nya dijajah yang diperjuangkannya atau karena tujuan politik lain. Pelaku yang didorong oleh ideology atau doktrin keagamaan, merupakan pemeluk agama fanatik, militan, irasional dan fundamentalistik. Bom yang membunuh Perdana Menteri India, Indra Gandhi termasuk model pertama ini. Pada model ini, dengan sedikit berbeda teleologis (tujuan akhir)nya bisa kita lihat pada kasus-kasus Bom Bali 1 & 2. Calon pelakunya, biasanya, dijanjikan kebahagiaan, keselamatan, kenikmatan surgawi dan bidadari cantik. Salik Firdaus akhirnya tertarik, dan kepalanya tersisa di tumpukan puing-puing kursi di café yang diluluhlantakkannya. Kedua, karena jalan buntu atas problem yang dialaminya. Pelakunya, stress, depresi dan frustasi. Penye-babnya karena tekanan ekonomi atau karena keterasingan diri (alienasi).
Yang menarik, Robert Pape, professor ilmu politik di Universitas Chicago melakukan riset mendalam aksi-aksi bom bunuh diri ini. Dalam buku hasil risetnya, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), dengan detail, Pape menyajikan data, angka dan motivasi serta tujuan aksi yang sangat mengerikan ini. Riset Pape dilakukan kepada, semacam responden, 3145 kasus bom bunuh diri di seluruh dunia antara 1980-2003.
Model umum yang dilakukan adalah para teroris membawa bom ditubuhnya dan menabrakkan mobil atau pesawat, seperti dalam kasus menara WTC Amerika yang menghebohkan dunia itu. Intinya, model ini, pelakunya membunuh dirinya sendiri seraya menimbulkan korban, bahkan membunuh target sebanyak mungkin, sesuai pesan yang ingin disampaikannya. Korbanya, bisa masyarakat sipil yang tidak terkait dengan urusan politik, bahkan sebetulnya menentang aksi-aksi politik pemerintahnya. Sebagai contoh, tidak semua orang Australia atau Amerika mendukung, bahkan menolak agresi politik Amerika di Irak, atau dukungan Bush terhadap pencaplokan berkepanjangan bumi Palestina oleh Israel.
Riset Pape menemukan, pelopor aksi bom bunuh diri di era modern adalah pejuang Hizbullah, Lebanon. Aksi-aksi pejuang muslim ini menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok perjuangan dengan kekuatan kecil seperti aktivis Macan Tamil di Sri Langka. Meski tidak memiliki doktrin agama sekuat kelompok Islam, ternyata hasil riset ini menunjukkan, justru inilah kelompok separatis yang paling banyak melakukan aksi bom bunuh diri. Macan Tamil beraliran Marxis-Leninis, kebanyakan aktivisnya berlatarbelakang keluarga beragama Hindu. Karenanya, aksi bom bunuh diri tidak sebagaimana yang kita duga: selalu dilakukan oleh fundamentalis atau militan Islam.
Detail data riset Pape sebagai berikut: Macan Tamil melakukan; 76 kali, Hamas 54 kali, Jihad Islam 27 kali serangan bom bunuh diri. Menariknya, Pape juga mengkomparasi aksi-aksi bom bunuh diri dalam kalangan Muslim sendiri. Hasilnya: kalangan Muslim sekuler seperti Partai Buruh Kuridistan (Tuki), Front Rakyat Pembebasan Palestina, Brigade Syahid al-Aqsa Palestina melakukan sepertiga lebih banyak aksi-aksi bom bunuh diri Muslim fundamentalis.
Perlu kita ketahui, tidak semua pejuang Palestina beragama Islam. Kalau bukan agama, apa pendorongnya? Menurut Pape, motivasinya bersifat sekuler, misalnya, perjuangan pembebasan tanah air. Artinya dorongan nasionalisme. Sejak kapan fenomena ini menjadi pilihan kelompok perjuangan itu? Menurut Pape, Hizbullah baru melakukan aksi ini setelah invasi Israel ke Libanon pada tahun 1982. Macan Tamil melakukannya sejak tahun 1987, saat militer Sri Langka menginvasi wilayahnya. Kelompok Palestina baru aktif saat tentara pendudukan Yahudi menduduki Tepi Barat pada tahun 1980-an. Yang pasti, untuk kasus rakyat Irak, aksi-aksi bom manusia meningkat tajam sejak invasi kolonial Amerika tahun 2003. Sebelumnya tidak ditemukan, baik pelakunya kaum Sunni ataupun
Pape menandaskan bahwa aksi-aksi di atas menyatu pada tujuannya yang bersifat sekuler dan strategis. Yaitu memaksa negara-negara demokratis modern yang kolonialis menarik kekuatan militernya dari daerah-daerah yang dikuasainya. Misalnya AS dari Semenanjung Arabia, Israel dari Palestina atau Rusia dari Chechnya.
Ada 3 pola besar yang diungkap oleh Pape: pertama: 301 dari 315 aksi-aksi terror itu sebagai kampanye terorganisir kepentingan politik dan militer. Kedua, objek aksi adalah negara-negara demokratis (AS, Perancis, India, Israel, Sri Langka dan Turki).
Pesannya adalah rakyat di Negara-negara itu berpartisipasi menekannya pemerintahannya mengubah politik luar negerinya dan menarik mundur pasukannya. Ketiga, semua aksi itu mencapai tujuan strategis, yaitu mempertahankan kedaulatan dan nasionalismenya. Karenanya, dalam riset Pape, aksi-aksi ini diklasifikasi menjadi 2 bentuk: aksi bunuh diri sebagai pelarian diri karena alienasi dan problem (egoistic suicide) dan aksi bunuh diri karena tujuan yang lebih besar (altruistic suicide). Adakah peran agama dalam aksi-aksi? Pape meletakkan agama—sebagaimana umumnya—sebagai “alat” dalam rekruitmen calon-calon “syahid” bom bunuh diri dan alat propaganda mencari dukungan dari luar negeri. Ingat, Salik Firdaus, direkrut oleh jaringan Dr.Azhari dan Nordin M.Top dengan memanfaatkan doktrin agama berupa janji-janji kebahagiaan surgawi dan bidadari cantik.
Syahidkah?
Seperti klasifikasi Pape di atas, ada egostic suicide dan altruistic suicide. Bagaimana kita mengidentifikasi posisi hukum keagamaannya? Syahidkah mereka itu? Yang kita ketahui, pelaku bom bunuh diri semodel pejuang Palestina, di Timteng disebut para “syuhada” (martyrdom). Mati terhormat, karena merelakan diri mati membela kebenaran hak bernegara. “Mereka yang mati dalam perjuangan ini akan langsung dikirim ke surga”, demikian salah satu bunyi dokumen operasi kesyahidan Palestina. Ulama terkenal dan terhormat seperti al-Tantawi dan Yusuf Qardhawi mendukung aksi-aksi kesyahidan ini. Menurut kedua ulama yang sangat otoritatif keilmuannya ini, para “syuhada” Palestina, akan mencapai puncak perjuangan dan mendapat tempat yang mulia dihadapan Allah. Karenanya, banyak pemuda, termasuk pemudi menyambut gembira fatwa dukungan kesyahidan itu. Fatawa ini tidak berlaku untuk aksi -aksi teroris di Indonesia dan dunia umumnya.
[:]