Catatan Terbunuhnya Seorang Guru di Perancis
Ridwan al-Makassary
Pengantar
Perancis menjadi pusat perhatian dunia akhir-akhir ini, oleh karena seruan boikot barang-barang Perancis berkumandang dan beresonansi kuat di sejumlah negara seperti Kuwait, Qatar, Turki, untuk menyebut beberapa. Seruan tersebut sebagai respon atas pembelaan secara terbuka yang dilakukan Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang membela kartun Nabi Muhammad SAW, yang dinilai menista agama Islam. Macron menyampaikan pembelaannya pada sebuah acara penghormatan atas terbunuhnya Samuel Paty, guru Sekolah Menengah Pertama Conflans-Sainte-Honorine, yang dibunuh secara keji dalam perjalanan pulang usai mengajar di sebuah bagian kota Paris.
Paty dibunuh karena memperlihatkan gambar kartun Nabi Muhammad di kelasnya sebagai bagian dari diskusi tentang kebebasan berpendapat. Seorang pemuda asal Chechnya berusia 18 tahun, bernama Abdullakh Anzorov, yang marah atas tindakan tersebut memenggal kepala guru nahas tersebut. Usai melakukan tindakan keji tersebut, Abdullah mengunggah jasad tanpa kepala korban di Twitter. Tidak lama kemudian, Anzorov menemui ajal di tangan polisi. Sama halnya, kematian Paty membuka luka lama Perancis tentang pembantaian di kantor Charlie Hebdo tahun 2015, ketika 12 orang meregang nyawa usai dihujani peluru oleh para pelaku yang merupakan anggota kelompok teror Islamis.
Tidak diragukan, pembunuhan atas Paty memantik ketegangan antara sekularisme, Islamisme dan Islamophobia di Perancis, namun pembelaan Macron tersebut menjadikan isu ini berimbas pula pada sektor ekonomi, dengan diboikotnya barang-barang dari Perancis. Tulisan ini ingin mengkaji persoalan ini dari sebuah perspektif yang lebih luas mengenai apakah kebijakan asimilasi sistemik dan sekularisme di Perancis telah gagal menyatukan warga Muslim sebagai bagian dari warga Perancis yang utuh.
Kehadiran Muslim di Perancis
Secara historis, kehadiran Muslim di negeri Napoleon Bonaparte, Perancis, terjadi pada rentang abad ke 12 dan ke-14, pada masa era Andalusia. Bahkan, Muslim sejatinya telah menetap di Perancis Selatan sejak abad ke-8, terutama bermukim di wilayah Avignon. Namun, kehadiran Muslim kontemporer di Perancis baru terjadi kemudian tepatnya pada masa kekuasaan kolonisasi Perancis di bumi Afrika, dan juga kehadiran gelombang baru Muslim di Perancis, awalnya mereka tiba pada fajar abad ke-20, dan kemudian datang lagi mengikuti pembebasan perang Afika (1954-62).
Meskipun imigran Muslim telah tiba sejak akhir 1800-an, gelombang migrasi signifikan Muslim baru berlangsung setelah Perang Dunia II berakhir, khususnya pada masa 1950-an, hingga 1980-an.
Faktor pedorong gelombang imigrasi ini mencakup hancur lumatnya kekuasaan kolonial Perancis sekitar pungkasan 1950-an hingga 1960-an, dan juga kebutuhan kronis Perancis terhadap tenaga kerja akibat kehilangan banyak kelas pekerja selama perang dunai II berkecamuk. Saat itu, kebanyakan Muslim di Perancis berasal dari bekas negara koloni Perancis di Afrika Utara (Sub-Saharan Afrika).
Namun paska perang, imigran berasal dari Aljazair, Tunisia, Marokko di Utara dan Senegara, Mali dan Mauritania di Utara. Pada tahun 1960-an, Turki dan Perancis menandatangani perjanjian pekerja migran dan imigran Muslim Turki meningkat pesat di Perancis. Sebelum 1970-an, kebanyakan migran Muslim hanya pekerja lelaki single (jomblo) yang meninggalkan keluarga di negara asalnya, dan setelah 1970an ada aturan reunifikasi keluarga migran sehingga terjadi peningkatan jumlah perempuan dan anak-anak, dan juga kemudian memicu lahirnya anak-anak Muslim migran di Perancis.
Sekularisme dan dinamika Muslim di Perancis
“France is all the French”, ujar Charles de Gaulle, Presiden Perancis, yang merujuk kekuatan penyatu dari sekularisme nasional. Namun, beberapa penduduk Perancis adalah Muslim. Karenanya, dalam menjaga idealitas Republik Perancis untuk keadilan dan kesetaraan bagi semua penduduk, sejak 1872, Perancis telah melarang pendataan penduduk berdasar latar- belakang ras, etnik dan agama. Akibatnya, sulit mengetahui jumlah pasti jumlah keseluruhan Muslim di Perancis, saat ini diperkirakan sekitar 8-10 juta jiwa.
Tidak seluruh Muslim Perancis adalah pendatang baru. Generasi pertama imigran Muslim masih memiliki ikatan yang kuat dengan negara asal (meskipun jarang balik) dan telah mengadopsi kewarganegaraan Perancis, namun situasi sedikit berbeda dengan generasi Muslim kedua, yang lahir di Perancis dan mendapatkan jus soli, kewarganegaran Perancis (birthright citizenship).
Generasi yang lahir di Perancis menjadikan Perancis sebagai bahasa ibu mereka dan juga budaya mereka. Namun dalam realitas, sebagian Muslim Perancis menemukan diri mereka sebagai warga yang tidak diangap sepenuhnya sebagai orang Perancis. Misalnya, Kebanyakan orang Afrika Utara terperangkap dalam labirin pengangguran, diskriminasi rasial dan pertentangan dengan polisi. Muslim yang tinggal di wilayah Ghetto di Perancis sedang mengalami apa yang dialami orang Afro-Amerika yang mengalami deprivasi dan frustasi di Ghetto perkotaan di Amerika Serikat. Beberapa peneliti mengkalim bahwa Perancis tidak pernah bisa menerima imigran Afrika Utara dan generasi kedua ini merasa mereka tidak diterima seutuhnya di Perancis seperti generasi pertama.
Perancis bersikukuh membela dan melestarikan sistem sekuler (pemisahan agama dari ruang publik), Muslim berusaha hidup dalam sebuah bangunan masyarakat yang mengalami relasi kuasa yang memperkuat kembali status ekonomi mereka yang lemah. Tampaknya gagasan inferioritas sebagai warga bekas terjajah masih kuat mengakar untuk beberapa derajat. Kenyataan ini menggugat konsep asimilasi yang diterapkan sebagai kebijakan negara Perancis. Asimilasi secara sederhana adalah kelompok minortas diharapkan menyesuaikan dengan satu budaya dominan dan mengadopsi nilai-nilai budaya dominan tersebut dalam tindakan dan prilakunya.
Praktik Muslim sebagai bagian dari kebebasan beragama seperti mengenakan hijab, pemakaman terpisah dan label makanan halal acap dipandanga akademisi dan pjabat di Perancis sebagai indikasi ekstremisme dan fundamentalisme atau bahkan memicu Islamophobia. Murungnya, pemakaman terpisah dan label makanan halal bagi Yahudi Perancis tidak berlaku sehingga memunculkan anggapan adanya standar ganda. Selain itu, ada pandangan umum bahwa populasi Muslim tidak berasimilasi dengan baik. Sehingga meskipun Perancis menganut multikulturalisme namun dalam praktik hal tersebut tidak terwujud, yang terjadi adalah subordinasi kelompok Muslim minoritas.
Meskipun Perancis dilihat sebagai satu negara Eropa yang menawarkan sebuah iklim yang kondusif bagi lintas Iman, namun Perancis juga kuat dipengaruhi oleh Kristen di Masa lalu. Di atas kertas, Perancis menghormati semua kelompok agama dan menerima semua bentuk peribadatan, tanpa secara resmi mendukung satu dari agama tertentu. Termasuk memberi ruang bagi kaum ateis. Akibatnya, karena perbedaan sejarah, politik, budaya dan agama, Kristen, Yahudi dan Muslim tidak menempati status setara dalam politik Perancis dan masyarakat. Ini menyisakan ruang pertanyaan dan kesangsian bagi kebijakan asimilasi resmi tersebut.
Sebagian peneliti Islam di Perancis mengkategorisasikan Islam di Perancis dalam beberapa kategori.
Pertama, pemuda Muslim yang memandang diri mereka secara total adalah Perancis, yang mengidetifikasi diri mereka dan menerima budaya Perancis dibandingkan generasi orang tua mereka.
Kedua, warga Muslim dan warga negara yang baik yang menilai adanya hubungan antara negara asal dan negara terkini dan menerima perancis dan segala nilai-nilainya sebagai realias yang diterima.
Ketiga, para individu sekuler Muslim yang berbicara Bahasa asal mereka namun melihat kebijakan kewargaan sebagai bagian dari budaya yang hidup di Perancis.
Keempat, para isolationist, mereka yang berasal dari minoritas yang lebih kecil dari Muslim di Perancis yang berpandangan merteka bukanlah orang Perancis, namun Muslim dalam pengertian budaya. Kebanyakan orang dari kategori ini mengisolasikan diri mereka dari pergaulan masyarakat dan juga budaya Perancis. Bahkan, mereka memandang terdapat satu konflik anatara Muslim dan Perancis yang tidak bisa direkonsiliasi.
Kematian Samuel Paty di tangan Abdullah sedang menggugat kemapanan sistem sekuler dan praktik asimilasi yang terjadi di Pernacis. Dalam hal ini, Abdullakh (dan mungkin masih banyak Abdullakh-Abdullakh lain) mungkin masuk dalam kategori isolationist, orang yang tidak bisa menerima sistem budaya Perancis atau justru dia termarjinalkan dan tidak tersertakan dalam sistem tersebut.
Penulis adalah: Peneliti Centre for Muslim States and Societies (CMSS) UWA di Australia.
Sumber ilustrasi: @ajenglish – Twitter