[:id]
Ahmad Nurcholish
Gelombang perhatian terhadap agama dewasa ini kian meningkat tajam. Agama yang dalam kacamata Barat, terutama bagi mereka yang menggunakan kerangka positivisme disetarakan dengan “mitos” dan karenanya diramalkan akan hilang dilibas zaman dan tenggelam dihempas kekuatan “ideology”dan “ilmu pengetahuan”, justru kini menunjukkan kekuatan dan peran strategisnya dalam ranah kehidupan.
Tak terkecuali agama Islam, yang sebelumnya ditengarai sebagai agama yang penuh mitos, doktrin keropos dan tidak tanggap terhadap dinamika zaman, nyatanya kini justru berkembang pesat, tidak hanya di Timur Tengah – tempat agama ini muncul pertama kali – tetapi juga di Asia, Amerika, bahkan Eropa. MaraknyaIslamic Studies di berbagai lembaga keagamaan dan Perguruan Tinggi di berbagai Negara di kawasan tersebut mengindikasikan hal itu.
Perhatian pada agama tidak hanya bersifat teologis, yakni dengan meningkatnya minat menjalani kehidupan yang diyakini berlandaskan ajaran suatu agama, yang kini dikenal dengan kebangkitan agama-agama. Bahkan tidak hanya bersifat lokal tetapi global, membentang dari Timur hingga Barat (Peter Connolly, ed., 2011: v).
Kebangkitan agama di sini tidak saja merujuk pada agama-agama besar, termasuk Islam, melainkan juga dialami oleh sekte-sekte spiritual, agama-agama kuno, dan berbagai macam singkretisme dan ekletisme keagamaan baru. Kesemuanya seolah mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dengan beragama corak dan dinamikanya.
Realitas inilah yang pada gilirannya mendorong minat ilmiah terhadap agama. Beragam pendekatan untuk memahami agama pun tak lagi tunggal, misalnya semata teologis-normatif, tetapi telah meluas ke disiplin ilmu-ilmu humaniora lain. Agama – dalam pengertiannya yang potensial untuk meluas – telah menjadi subjek disiplin ilmu tersebut. Tentu ini membanggakan sekaligus memudahkan kita dalam memahami sebuah agama, termasuk Islam tentunya. Dengan berbagai pendekatan itulah memungkinkan kita memahami Islam bukan hanya sebagai ajaran doktrinal, tetapi mampu menalar dengan baik keberadaan dan ajarannya dan menangkap esensi atau subtansi di baliknya.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya akan mengajak Anda membahas beragam pendekatan dalam studi Islam, yakni pendekatan Teologis, Sosiologis, Antropologis, Historis, Filosofis dan Tasawuf. Selain itu, kita akan membincang (kembali) hubungan manusia dan agama serta mengapa manusia seolah tak bisa lepas darinya. Sebagai pelengkap dari pemaparan yang serba singkat ini juga disajikan metodologi pemahaman Islam sebagai hal yang tak terpisahkan dari penggunaan beragam pendekatan yang ada.
Metode vs Metodologi
Dalam perbincangan antar-mahasiswa, kerap kita dengar pertanyaan apa sesungguhnya perbedaan antara metodologi dan metode. Menurut Dr. Muhyar Fanani (2010: ix-x), keduanya memang berbeda. Metodologi berasal dari tiga kata Yunani, meta, hetodos, dan logos. Meta berarti menuju, melalui, dan mengikuti.Hetodos artinya jalan atau cara. Maka kata methodos (metode) berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Dengan demikian, metode adalah langkah-langkah praktis dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi karena bersifat aplikatif.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos, maka maknanya akan berubah. Logos berarti “setudi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karenanya, metodologi tidak lagi sekadar kumpulan cara yang sudah diterima (well received) tapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Singkatnya, bila dalam metode tidak ada perdebatan, refleksi, dan kajian atas kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk itu. (Ibid)
Jika demikian, jika kita kaitkan dengan studi Islam, manakah yang benar, metodologi ataukah metode? Kedua-duanya menurut Muhyar, benar tergantung maksud dan tujuan penggunaan istilah itu. Istilah Metodologi Studi Islam (MSI) digunakan ketika seseorag ingin membahas kajian-kajian seputar ragam metode yang bisa digunakan dalam studi Islam. Ibarat akan pergi ke Surabaya berangkat dari Jakarta, MSI merupakan kajian atas cara-cara yang bisa digunakan agar seseorang bisa sampai Surabaya. Metode yang bisa digunakan tentu bisa naik sepeda motor, naik bus, atau naik pesawat terbang. Pembahasan seputar metode itu baik mencakup harga, kenyamaan, kecepatan, kelemahan, resiko maupun sejarahnya termasuk kajian metodologi.
Lantas apa pula perbedaan antara metode dan pendekatan (approach), yang juga kerap terlontar dalam perbincangan antar-mahasiswa. Perbedaan keduanya, menurut Muhyar, memang tipis. Metode merupakan cara mengerjakan sesuatu (a way of doing something). Sementara pendekatan adalah cara memperlakukan sesuatu (a way of dealing with something). Perbedaan keduanya hanya terletak pada perlakuan atas objek. Jika metode cenderung menganggap sebuah objek sebagai entitas pasif, sedangkan pendekatan cenderung menganggap sebuah objek sebagai sesuatu yang aktif. (Ibid., xxiii).
Dengan demikian, jika kita ingin mengkaji Islam dan menganggapnya sebagai sebuah entitas yang aktif dan dinamis, maka sesungguhnya kita sedang melakukan pendekatan atas Islam. Dalam tulisan ini tentu ingin memperlakukan Islam sebagai sebuah entitas yang aktif dan dinamis. Oleh karena itu mari kita dalami beragam pendekatan untuk memahami Islam secara mendalam dari berbagai sudut pandang.
Studi keagamaan, menurut Niniam Smart (2011: vii), membutuhkan tiga mode penggambaran dimensional (dimensional mode of representation). Dua aspek dimensional merepresentasikan agama-agama dan budaya-budaya yang berbeda secara vertical, dan berbagai pendekatan yang dibutuhkan untuk menginterprestasikan dan memahami agama dan budaya secara horizontal.
Oleh karena itu, kita bertemu denga Hinduisme, Taoisme, Kristen, Yahudi, dan juga Islam, termasuk pula agama-agama klasik Afrika, tradisi-tradisi Amerika asli, dan sebagainya.
Di samping itu, juga bersinggungan dengan dimensi sosiologis, antropologis, sejarah, filologi, sejarah seni, musikologi, dan studi-studi ritual lainnya. Untuk melengkapi kedua dimensi itu dan untuk menggambarkan perbandingan dan teori-teori agama berikutnya, menurut Niniam, kita membutuhkan dimensi lain. Akan tetapi, jaringan paling vital, menurutnya, adalah jaringan vertikal dan horizontal (Ibid., viii).
Disebabkan oleh karakter dimensional agama, timbul kebutuhan mengunakan beragam pendekatan bagi studi agama, termasuk agama Islam, seperti ilmu sosial dan humaniora (sejarah dan filologi). Maka menjadi penting untuk memahami beragam pendetakan yang dapat digunakan sebelum memahami agama, khususnya Islam yang diyakini oleh pemeluknya sebagai sebuah kebenaran wahyu dan sebagai fenomena sosial.
Dalam tulisan ini tidak semua pendekatan akan diuraikan, saya batasi hanya meliputi: pendekatan teologis, sosiologis, antropologis, historis, filosofis, dan tasawuf.
Pendekatan Teologis
Secara harfiah pendekatan teologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan mengunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiric dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibanding dengan yang lainnya (Abudin Nata, 2012: 28). Dengan cara pandang ini, maka tersirat kecenderungan bahwa kebenaran teologis menjadi satu-satunya jalan yang harus digunakan oleh manusia.
Karena itu, Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis (Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, 1990: 92).
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau symbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau symbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah atau sesat (Abudin Nata, 2012: 29).
Tidak hanya itu, bahkan dalam satu agama tetapi berbeda aliran atau madzhab pun ada keyanikan bahwa aliran atau madzhabnyalah yang paling valid atau benar. Dengan pola dan pemahaman serta keyakinan seperti ini maka tidak terbuka untuk melakukan dialog sebagai pintu untuk saling menghormati dan menghargai.
Oleh karena itu, menurut Amin Abdullah, pendekatan teologi semata-mata untuk memahami agama tidak akan mampu memecahkan masalah esensial pluralitas agama, khususnya sebagaimana saat ini. Apalagi jika terjadi campur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya akan menambah pelik persoalan yang dihadapi umat beragama (Ibid.)
Kepelikan ini bertambah parah dengan munculnya fatwa-fatwa keagamaan dari institusi agama yang dianggap otoritatif untuk mengeluarkan fatwa, yang alih-alih mendatangkan ketentraman di masyarakat, yang kerap terjadi adalah fatwa-fatwa tersebut dijadikan amunisi sekaligus justifikasi untuk mengintervensi, mendiskriminasi, bahkan diiringi dengan tindakan kekerasan yang merugikan banyak orang.
Tentu bukan berarti kita harus meninggalkan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya (Ibid.: 132). Namun, mengandalkan pendekatan teologis semata tentu saja tidak cukup. Karenanya perlu ada pendekatan lain guna mendapatkan pemahaman keagamaan yang komprehensip yang memungkinkan bagi kita, pemeluknya, tidak hanya melihat agama sebagai “lembaga” doktrin Ilahiyah, melainkan memahami agama dari berbagai aspek yang melingkupinya.
Dalam konteks studi Islam, maka pendekatan teologis yang hanya berbasis keyakinan bahwa Islam itu agama (paling) benar, berdasarkan wahyu Al-Qur’an, disampaikan oleh Nabi pilihan dan memiliki ritual ibadah yang sudah ditentukan waktu dan tata-caranya tidaklah cukup. Perlu pendekatan lain sehingga kebenaran Islam tidak hanya berhenti pada ranah keyakinan, tetapi mampu mengejawantahkan dalam praksis kehidupan. Al-Qur’an tak hanya dibaca sesering mungkin, tetapi mampu mengaplikasikan pesan-pesan moral, ajaran-ajarannya dengan baik sesuai dinamika zaman.
Dengan demikian, hanya mengandalkan pada pendekatan teologis semata maka akan menemukan problem krusial, dimana agama hanya akan terlihat sebagai kumpulan doktrin normative yang rigit, kaku dan terkadag nampak eksklusif. Karena itu dibutuhkan pendekatan lain guna memahami agama secara komprehensif. Bersambung… [ ]
Ahmad Nurcholish, santri program doctoral Studi Islam.
[:]