[:id]

Staff Ahli Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua dan Dosen dosen studi perdamaian di Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua, Ridwan Al-Makassary. Sumber: Dok. Ridwan Al-Makassary
Ridwan al-Makassary
Hari-hari ini saya banyak menerima pesan pendek (SMS) melalui Handphone, Whatsapp, BBM dan Facebook yang mempertanyakan kebenaran berita tentang Pernyataan Persekutuan Gereja-Gereja Jayawijaya (PGGJ), tertanggal 25 Februari 2016, yang berisi 9 poin yang menyudutkan umat Islam setempat. Di antaranya adalah meminta pembatalan ijin pembangunan Masjid Raya Baiturrahman, dilarang pembagunan masjid baru di Kabupaten Jayawijaya, dilarang menggunakan toa, dilarang menggunakan busana ibadah (jubah/jilbab) di tempat-tempat umum, dst. Bahkan, untuk beberapa derajat, berita tersebut dengan cepat tersebar di medsos dan jadi pergunjingan sebagian kalangan, yang kalau tidak hati-hati menyikapinya akan menimbulkan ketegangan dan keresahan. Bahkan, yang terburuk tidak menutup kemungkinan meledak konflik bernuansa agama.
Saya mendapatkan informasi dari sumber yang terpercaya bahwa surat pernyataan itu memang benar adanya. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa surat bernada intoleran begini bisa keluar dan bagaimana menyikapi dan menyelesaikan hal tersebut supaya tidak mengarah pada hal-hal yang mengancam kerukunan. Mungkin kita masih ingat dengan jelas insiden berdarah Tolikara 2015, yang juga bermula dari Surat Edaran yang isinya hampir sama dengan yang beredar saat ini.
Perlu dikedepankan bahwa penyelesaian masalah mesti dengan cara-cara damai dan kekeluargaan. Mengingat sejauh ini di Wamena kerukunan dan toleransi sudah cukup lama terjalin baik. Saya ingat tahun lalu saya mengisi materi dialog lintas Iman di Wamena, pak Pdt. Abraham Ungirwalu, STh (pak Bram), dari PGGJ, dengan berterus terang mengatakan bahwa persoalan kerukunan beragama di Wamena cukup baik. Namun, bukan berarti tidak ada benih-benih anti kerukunan terutama antara Muslim dan Kristen, akibat pemahaman yang cenderung menganggap bahwa ajaran agamanya yang paling benar dan menolak agama lain. Intinya dia mengatakan bahwa semua agama mengajarkan kasih kepada sesama. Pak Bram saat itu mengakhiri presentasinya yang singkat dengan mengatakan bahwa “kerukunan di Papua adalah harta terakhir yang dimiliki Papua, tanpa itu habislah Papua”, kira-kira demikian poin yang ingin disampaikan beliau, yang sudah sepuluh tahun mengabdi sebagai pelayan Tuhan.
Tapi, ketika saya mendapatkan surat edaran tersebut saya merasa apakah ini memang ditandatangani secara sadar oleh pak Bram, karena surat edaran tersebut sangat melawan dan bertolak belakang dengan apa yang dia sampaikan tentang kerukunan ketika itu. Keluarnya surat ini mesti ada diskusi dan rasionalisasi dibaliknya. Meski, untuk derajat tertentu saya juga bisa memahami bahwa persoalan keadilan dan minoritisasi yang dirasakan umat Kristen di luar Papua mungkin juga penyebab keluarnya surat ini. Terlepas dari bagaimana perumusan surat itu dilakukan oleh PGGJ surat tersebut, hemat saya, muatannya sangat bertentangan dengan hak asasi manusia di dalam beragama yang dilindungi oleh UUD 1945.

Secara kesejarahan, konflik komunal pernah merundung Indonesia pada saat Era Reformasi bergulir. Kran demokrasi yang dibuka selebar-lebarnya telah meretas ruang bagi semua kelompok termasuk kelompok radikal untuk menyuarakan tuntutannya dengan kuat. Persoalan ketidakadilan, deprivasi relatif, perebutan kepemimpinan politik dan conflict entrepreneur telah mencipta konflik antara Muslim dan Kristen di Ambon dan Poso; konflik antara etnik Dayak dan Madura di Sambas dan Sampit. Konflik tersebut telah mengancam kesatuan bangsa. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi “Negara Balkan yang pecah berkeping-keping”. Bahkan, baru setahun yang lalu insiden berdarah Tolikara terjadi, Aceh Singkil terjadi dan penolakan masjid di kota Manokwari terjadi, sekarang kita sedang di ambang keretakan yang membawa kerukunan Bergama dalam jurang bahaya.
Mungkin juga perlu adanya kearifan bahwa tahun ini tahun politik, sehingga tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin membenturkan Muslim dan Kristen sehingga mereka bisa mengambil keutungan dan tersenyum penuh kemenangan. Tetapi mesti dicamkan bahwa tidak ada konflik yang murni agama di Indonesia. Agama dalam kasus Ambon dan Poso, bahkan insiden Tolikara 2015 lebih karena miskomunikasi, di mana agama hanya dimanipulasi oleh kelompok elit kepentingan yang berharap meraup untung dengan terjadinya konflik tersebut.
Saya sering menulis dan menyampaikan bahwa erdasarkan laporan dari International Crises Group (ICG) beberapa faktor kunci konflik di Papua: migrasi kelompok Muslim ke Papua; kemunculan kelompok-kelompok eksklusif baru dalam Islam dan Kristen; akibat sisa-sisa ekslusifitas lama dari konflik Maluku; akibat dari pembangunan yang ekstensif di luar Papua. Sementara itu, terdapat empat tantangan kerukunan di Tanah Papua (FKPPA dan Dian Interfidei, 2014): Fanatisme Agama; Primordialisme etnik; Marjinalisasi orang Asli Papua; Perubahan Sosial Akibat Bonus Demografi. Apa yang terjadi hari ini di Jayawijaya adalah manifestasi dari fanatisme agama berlebih-lebihan.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Saya berpandangan bahwa kita mesti mengsupport penyelesaian secara damai di tingkat lokal, di mana Bupati dan FKUB setempat bisa menjadi mediator, karena saya dengar surat pernyataan PGGJ tanpa sepengetahuan FKUB setempat. Dalam hal ini, mesti adanya dialog untuk mencari titik temu dan semua pihak menahan diri serta mengembalikan persoalan tersebut ke jalur perundang-undangan yang berlaku dalam pembangunan rumah ibadah.
Selanjutnya, pada tingkat provinsi melalui kanwil kemenag Papua telah dilangsunkan rapat untuk membahas persoalan termasuk solusi untuk kasus tersebut tidak meluas. Di dalam rapat yang penuh dinamika tersebut terdapat Muslim Wamena yang menyatakan mereka siap untuk berperang kalau tidak ada penyelesaian. Tapi saya kira itu karena emosional sehingga dia menyatakan seperti itu. Ini tentu tidak kita inginkan terjadi. Untungnya, pernyataan sikap Ikatan Keluarga Wilayah Walesi Jayapura (26-2-2016) yang meminta Bupati menyelesaikan masalah dengan cara-cara damai dan semua stakeholder menjaga diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu kekisruhan sosial.
Pada akhirnya, kesepakatan yang diambil di rapat 27 Februari 2016 di kantor Kemenag Papua adalah membentuk tim yang turun lapangan untuk mencari data dan fakta. Selain itu, menyerukan secara moral agar semua pihak menahan diri serta mencari penyelesaian secara damai dan melalui dialog, dan jangan sampai ada tuntutan kepada pembuat surat pernaytaan melalui jalur hukum untuk tindak penghasutan kebencian kepada satu agama tertentu (hate speech), jika dengan surat itu terjadi tindak kekerasan.
Kabar terakhir yang saya dengar dari sumber terpercaya, kondisi di Wamena kondusif. Bahkan, hari ini (1 Maret 2016) perwakilan PGGJ bertandang ke kantor Polda untuk menyampaikan pernyataan mereka. Dialog yang terjadi menunjukkan bahwa miskomunikasi juga memainkan peran terjadinya pembuatan surat edaran. Semoga pada akhirnya pemerintah daerah setempat beserta strategic stakeholders dapat merumukan penyelesaian yang win-win solution untuk terciptanya kerukunan yang jenial di jayawijaya dan Papua secara keseluruhan. Dalam konteks ini, semua pihak mesti menahan diri untuk tidak membuat “gerakan tambahan” agar suasana rukun dan harmonis dapat tercipta.
Semoga tantangan kerukunan di Jayawijaya segera teratasi dan Papua Tanah Damai adalah visi dan common denominator yang selalu dikedepankan. Damai Papua Damai Indonesia.
Penulis: Staf khusus FKUB Papua dan Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua.[:]