[:id]*Ditulis oleh Erton Vialy Arsy
Berdasar data dari UNHCR tidak kurang dari 348.000 orang Suriah mendaftarkan diri sebagai pencari suaka ke Benua Biru sepanjang 2011-2015. Migrasi besar-besaran ini sudah tentu menjadi masalah bagi para pemimpin negara-negara Eropa. Bukan hanya urusan perut pertimbangan konflik sosial yang mungkin terjadi kelak tentu membuat para pengambil keputusan di Eropa pusing sekali. Belum lagi para politisi ultra kanan juga garang sekali pada imigran.
Dengan jumlah imigran sebesar itu bisa dipastikan kondisi di Suriah amat mengerikan. Tak mungkin tiap orang semudah itu meninggalkan tanah kelahiran. Pastilah konflik disana sudah tak bisa lagi membuat jutaan orang di Suriah mampu bertahan. Kekerasan komunal yang mengerikan tengah terjadi di Suriah.
Berbincang tentang konflik di Suriah sebetulnya sudah banyak yang membahasnya. Hari ini saya ingin sekadar memberikan paparan agar konflik ini terlihat kian rumit. Bagi saya sendiri konflik ini memang amat sulit dicari solusi yang win-win solution. Kubu Assad dan para pemberontak di Suriah sama-sama tak mau berkompromi. Bagi kedua belah pihak rasanya lebih baik mati daripada duduk ke meja perundingan dan mempertimbangkan jutaan orang yang berhamburan ke negeri orang.
Namun, hemat saya konflik yang menelan tidak kurang dari 250.000 nyawa ini bukan semata perseteruan antar faksi di domestik seperti halnya konflik di Rwanda pada awal 90an. Yang jauh lebih merepotkan adalah karena konflik di Suriah merupakan percikan dari dua dimensi konflik. Dan agaknya tanpa mengurai dua dimensi konflik berskala global ini agak mustahil menghentikan tangisan orang-orang Suriah.
Dimensi pertama dari konflik ini saya namai Konflik Lama Bersemi Kembali (KLBK). Dalam hal ini saya bermaksud menyinggung prahara politik Perang Dingin. Kawasan Timur Tengah merupakan poros dari perseteruan antara Blok Barat dan Blok Timur. Kedua negara super power Amerika Serikat dan Uni Sovyet saling beradu pengaruh di kawasan kaya minyak itu. Masing-masing negara di kawasan ini menempel pada kedua negara adidaya itu seperti negara-negara lain di berbagai kawasan pada umumnya. Sebagian besar negara-negara Teluk di bawah komando Arab Saudi adalah sahabat Uwak Sam.
Suriah sebagaimana diketahui bersama adalah “pendakwah komunisme” di jazirah Arab kala Perang Dingin . Suriah ,dengan Hafez Al Assad yang otoritarian, merupakan negara yang powerful dalam peta politik di kawasan Timur Tengah. Bersama dengan Mesir, Suriah adalah handai tolan Uni Sovyet di kawasan.
Perang Dingin usai, Bipolar selesai. Dunia menjadi unipolar. Uwak Sam menguasai peta politik di seluruh kawasan, termasuk Timur Tengah. Di kawasan ladang minyak ini, tinggal Suriah sebatang kara yang masih setia pada Kremlin. Namun, AS nampaknya belum puas jika dinasti Assad belum turun dari kekuasaan di Damaskus. Karena itu, hingga Presiden George Walker Bush memastikan sejumlah tekanan politik pada Suriah tetap berjalan.
Kesempatan menggeser dinasti Assad muncul saat Arab Springs mekar. Dimulai dari tahun 2011 saat konflik ini mulai berkobar, AS terkesan begitu gencar mendesak dinasti Assad untuk turun dari kekuasaan. Bukan hanya berkampanye di PBB, AS juga terjun langsung untuk mengurusi perang sipil di Suriah. Bersama dengan negara-negara anggota NATO, AS memberikan bantuan pada oposan di Suriah. Pokoknya Bashar Al-Assad harus turun. Inilah kemauan Washington. Titik.
Pada titik ini saya berharap AS tidak melakukan kesalahan serupa sebagaimana yang pernah ia lakukan di Afghanistan. Uwak Sam mengusir komunisme di Afghanistan dengan mengerahkan paramiliter yang menjadi cikal bakal kelompok ekstrim di negeri para Mullah itu. Saya yakin Obama sadar benar Free Syrian Army (FSA) juga disusupi oleh kelompok ekstrimis Islam.
Namun, setelah empat tahun konflik berlangsung ketegangan tidak berhenti. Bahkan yang terjadi dosisnya kian meninggi. Dalam minggu ini dikabarkan, Kremlin berjanji untuk menguatkan kemampuan pertahanan militer rezim Assad. Hal ini langsung dinyatakan Vladimir Putin ketika mengunjungi Tajikistan. Putin menegaskan Rusia akan membangun kekuatan militernya di Suriah. Alasannya, yakni Rusia ingin membabat habis ISIS di Suriah. Bahkan Putin mengajak negara-negara lain untuk ikut bersama Rusia membasmi ISIS.
Sudah tentu ini membuat Washington geram. Tak lama setelah Putin membeberkan rencana Rusia, Washington langsung merespon. AS keberatan dengan rencana Rusia untuk memperkuat kemampuan militer Suriah. Meskipun Washington mengaku juga tak kalah geram dengan sepak terjang ISIS.
Singkat kata, hemat saya konflik di Suriah akan sulit dicari jalan keluarnya jika AS dan Rusia masih gagal move on dari corak pikir era Perang Dingin. Washington dan Kremlin sudah saatnya duduk santai bersama dan menghentikan paradigma zero sum game.
Yang lebih menarik ada pada dimensi kedua. Dalam konflik di Suriah, salah satu kelompok pemberontak yang begitu getol menyerang Assad adalah paramiliter Salafi-Wahabi. Kelompok-kelompok ini di antaranya Jabhat Al-Nusra dan kelompok teroris paling mematikan di dunia saat ini Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kedua kelompok ini jelas sama sekali bukan ingin mendirikan negara yang demokratis jika berhasil menjatuhkan dinasti Assad. Baik Al-Nusra maupun ISIS sama-sama ingin mendirikan rezim negara Islam yang ekstrim. Buktinya bisa kita pada sepak terjang ISIS. Niatan kedua kelompok ini tiada lain adalah menghancurkan rezim Assad yang dinilai simbol dari kekuasaan Syiah.
Niatan politik Al-Nusra dan ISIS disambut hangat Arab Saudi dan negara-negara Teluk serta Turki dan Ikhwanul Muslimin (IM) – Rasanya konflik di Suriah memang menjadi pemersatu rezim negara-negara Sunni meski bahkan IM dimusuhi habis-habisan oleh Arab Saudi. Sudah menjadi rahasia umum Arab Saudi membantu kelompok-kelompok ekstrim ini pada mulanya dalam menjungkalkan Assad di Damaskus. Turki diduga kuat memberi akses yang mudah bagi hilir mudik masuknya jihadis ISIS ke Suriah.
Arab Saudi bersama negara-negara Sunni di kawasan begitu bersemangat melucuti kekuasaan Assad. Memang Suriah memiliki kedekatan spesial dengan Iran. Kedua negara dianggap menjadi ancaman serius bagi rezim-rezim “Sunni”. Bagi Saudi menghancurkan Assad menjadi penting. Karena, Assad bersama Iran dianggap sebagai representasi corong politik Syiah.
Gairah politik anti-Syiah Saudi dan negara-negara Sunni lainnya di kawasan Timur Tengah memang boleh dikatakan luar biasa. Saya kira bahkan aroma konflik sunni-syiah dalam konflik ini meluber keluar dari kawasan. Dengan sengaja Arab Saudi dan negara-negara Teluk, saya duga kuat, mengkampanyekan anti-syiah ke seantero dunia. Hal ini saya rasakan ketika berbincang dengan petinggi di kedutaan salah satu negara Teluk beberapa waktu lalu.
Iran sendiri punya sikap yang tak mau mengalah dalam perkara ini. Membela rezim Assad adalah segalanya. Pasalnya, Assad adalah pelindung dari Hizbullah yang merupakan “saudara” dari Iran.
Yang mengerikan saya kira dari dimensi kedua ini adalah agama. Sebagian umat Islam melihat konflik Suriah adalah konflik agama. Konflik seolah diyakini bermuara dari pertarungan antara good muslim vs evil muslim. Atau singkatnya konflik Suriah dinilai sebagai konflik Sunni-Syiah yang telah ratusan tahun sejak era dinasti Muawiyah berkuasa.
Kecemasan saya konflik ini akan panjang dan bukan tidak mungkin meluas keluar dari kawasan Timur Tengah. Sebagaimana kita cium aroma kebencian anti-syiah mulai terasa di tanah air. Jika hal ini tidak segera ditangani dengan cepat saya menduga kuat dunia Islam akan kian kelam.
Rasanya tak mungkin pula berharap kesediaan Arab Saudi dan Iran menyelesaikan sengketa. Kedua negara seperti air dan minyak. Tak mau berkompromi, enggan berkolaborasi. Lebih baik perang Barata Yudha ketimbang duduk bersama.
Untuk merespon gejolak politik di Suriah agar tak meluas, hemat saya dunia Islam perlu berpikir secara mendalam mengurai akar konflik. Sekaligus, saya menawarkan, alangkah baiknya pikiran umat Islam haruslah disekulerkan. Dalam arti bahwa, umat Islam harus sadar konflik yang terjadi di Suriah bukan perkara ukhrawi. Semata-mata yang terjadi adalah pertarungan poros Iran dan Arab Saudi. Dengan demikian, umat Islam bisa fokus pada pencarian alternatif dalam rangka menyelesaikan tragedi kemanusiaan di Suriah.
[:]