“MERAJUT DAMAI DENGAN PENDIDIKAN HUMANIS”
LATAR BELAKANG
Kini bangsa Indonesia telah berumur 67 tahun. Artinya, dunia pendidikan bangsa ini pun telah berumur kurang lebih sama. Berbagai jenis kurikulum dan sistem pendidikan pun telah dijalankan. Mulai dari Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, semuanya memiliki ciri khasnya tersendiri. Meski sekilas banyak terlihat kemajuan dalam dunia pendidikan kita, mulai dari sistem tata administrasi yang lebih rapi, program wajib belajar 9 tahun, sampai dengan munculnya kurikulum berbasis kompetensi. Namun jika ditelisik lebih mendalam, berbagai persoalan besar pun ternyata masih menghadang. Mulai dari persoalan tawuran, intoleransi, radikalisme, bahkan terorisme terus muncul dan menghantui dunia pendidikan kita.
Hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP 2011), menunjukkan, bahwa ada persoalan yang sangat mendasar pada level kultural bangsa ini. Yakni, berkembangnya pemahaman radikal dan anti toleransi ke ruang-ruang pendidikan. LaKIP menyebut, 100 SMP serta SMA umum di Jakarta dan sekitarnya, dari 993 siswa yang disurvei, sekitar (48,9%) menyatakan setuju atau sangat setuju terhadap aksi kekerasan atas nama agama dan moral. Sisanya (51,1%), menyatakan kurang setuju atau sangat tak setuju. Kemudian, di antara 590 guru agama yang menjadi responden (28,2%), menyatakan setuju atau sangat setuju atas aksi-aksi kekerasan berbaju agama (Tempo:20/08/2011).
Pola pikir yang arif dan bijaksana dalam mengapresiasi dengan baik keragaman pendapat, ekspresi, dan gaya hidup dari berbagai ragam perwujudan Tuhan, tampak seolah jauh dari harapan pendiri bangsa ini. Bahkan, dan sikap-sikap yang mau menang dan benar sendiri semakin mencuat. Akibatnya, konflik sosial di berbagai lapisan masyarakat pun tak bisa dihindarkan.
Realitas tersebut, setidaknya bisa dilihat dari hasil Survey yang dilakukan oleh Yayasan Denny JA dan LSI Community (MI:2012), bahwa kecenderungan intoleransi masyarakat Indonesia terus meningkat. Masyarakat merasa semakin tak nyaman akan keberadaan orang lain (yang berbeda identitas (berbeda agama, maupun berbeda aliran dalam satu agama) di sekitarnya. Di tahun 2005, mereka yang keberatan hidup berdampingan dengan yang berbeda agama (6,9%), pada tahun 2012, naik menjadi (15%). Sedangkan mereka yang keberatan untuk hidup berdampingan dengan orang berbeda aliran (Syiah) (26,7%) pada tahun 2005, menjadi (41,8%) pada tahun 2012. Publik yang keberatan untuk hidup berdampingan dengan yang berbeda identitas tersebut, mayoritas adalah mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah (SMA ke bawah), yakni sekitar (67,8%) keberatan untuk bertetangga dengan yang berbeda agama dan (61,2%) keberatan untuk bertetangga dengan orang Syiah. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas), (32,2%) tak nyaman bertetangga dengan yang berbeda agama, dan (38,8%) keberatan untuk bertetangga dengan orang Syiah.
Banyak kalangan, termasuk Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menilai bahwa berbagai persoalan yang mengancam integritas NKRI tersebut, bibitnya sudah ada sejak lama. Bahkan sejak dini, anak-anak kita, calon generasi penerus amanat bangsa ini pun sudah “dicekoki” dengan sikap dan pola pikir yang eksklusif dan hitam-putih dalam melihat kehidupan dan menyikapi pluralitas bangsa.
Dari kegiatan Simposius Internasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia, pada September 2012, di mana ICRP ikut terlibat di dalamnya, yang menyoroti persoalan Pendidikan dan Budaya Damai, menghasilkan beberapa kesimpulan. Antara lain, bahwa “budaya damai” belum terintegrasi dalam sistem pendidikan agama di Indonesia. Mulai dari pendidikan tingkat dasar, sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Kurikulum yang ada saat ini, belum mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal, multikulturalisme dan pluralisme. Balai pendidikan dan pelatihan guru tak menyediakan materi dan kegiatan yang mendukung pengetahuan serta ketrampilan tertentu untuk mengeksplorasi dan mengintegrasikan nilai-nilai atau budaya damai dalam pendidikan agama.
Menurut St. Sularto (Kompas: 12/10/2012), pendidikan bangsa Indonesia yang kini sudah berumur 67 tahun, masih karut marut. Bahkan seolah tak punya konsepsi yang jelas mengenai subtansi pendidikan. Persoalan terkait perumusan kurikulum sangat kental nuansa politisnya. Perumusan kurikulum acapkali melupakan kondisi sosio-kultural dan nilai-nilai kearifan lokal setempat. Praksis pendidikan dan dunia pendidikan menganggap kurikulum sebagai masalah teknis. Sementara pemerintah, lewat departemen terkait (teknis) yang dilaksanakan oleh pusat kurikulum, menempatkan kurikulum sebagai sumber kekuasaan. Selain itu, persoalan guru, sebagai pelaksana kurikulum di lapangan, kurang dipersiapkan bahkan terkesan diabaikan.
Menyikapi hal itu, Thomas Pudjo Widijanto (Kompas: 12/10/12), menyatakan perlunya digagas sebuah “kurikulum yang memanusiawikan anak manusia”. Yakni, pendidikan yang bersinergi dengan budaya dan kearifan lokal. Perubahan atau pembaruan kurikulum, harus ditempatkan dalam kerangka evolusi kebudayaan. Sasaran utamanya adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap serta kebudayaan yang baru. Perubahan bukan sekdar teknis didaktik-metodik, melainkan hal-hal yang strategis-paradigmatis, menyangkut isi dan ideal apa yang ingin diselenggarakan, agar anak didik bisa memenangi hari depan. Dan untuk mewujudkan ini, kunci terpentingnya adalah guru. Selain memiliki pengetahuan teknis, guru harus menjadi pribadi yang sudah mengalami pencerahan, sehingga mampu mengembalikan situasi pendidikan yang humanis, yang menempatkan anak didik sebagai pusat kegiatan dan perhatian.
Oleh sebab itu, ICRP yang dipercaya oleh Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) untuk mengampu dan mengembangkan mata kuliah religious studies di Universitas tersebut, menitikberatkan metode pengajaran dan pembelajaran student as center for learning dengan mengedepankan pada lived-experiences. Mahasiswa diajak turun langsung ke lapangan untuk mengunjungi rumah-rumah ibadah untuk dapat secara langsung melihat, berinteraksi, berdialog, dan merasakan pengalaman langsung bersama dengan pemuka dan/atau pemeluk agama/keyakinan terkait. Di sini mereka mendapat informasi tentang agama lain langsung dari pemeluknya (first-hand information). Sehingga dapat meminimalisir prasangka-prasangka negatif atau informasi yang kurang tepat mengenai agama/keyakinan tersebut.
Untuk mengantisipasi dan meminimalisasi efek negatif dari berbagai karut marutnya dunia pendidikan kita, seyogyanya semua elemen bangsa, tertutama para tokoh/pemuka masyarakat (dari berbagai macam unsur dan kalangan) harus bersatu-padu, duduk bersama, dan menyamakan visi guna menjaga masa depan pluralitas serta integritas bangsa ini, dengan kembali memikirkan dan mengambil langkah strategis dan solusi alternatif atas apa yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Persoalan inilah yang akan menjadi bahasan serta topik utama dalam kegiatan KONFERENSI TAHUNAN ICRP 2012 dengan tema; Merajut Damai dengan Pendidikan Humanis.
BENTUK KEGIATAN
Bentuk kegiatan dalam Konferensi Tahunan ICRP 2012 ini, diharapkan sebagai berikut:
- Public Seminar: diisi oleh nara sumber guna memberikan ulasan serta analisis atas berbagai persoalan terkait dengan pendidikan (khususnya pendidikan agama) di Indonesia
- Diskusi Kelompok/Komisi: membahas berbagai isu yang muncul dari seminar serta menyusun draft rekomendasi untuk dibawa ke sidang pleno
- Pleno: menghasilkan rekomendasi untuk menyikapi semakin meningkatnya trend intoleransi dan radikalisme di Indonesia, khususnya yang ada atau melalui institusi pendidikan di Indonesia
TUJUAN
- Mengulas dan menyoroti berbagai persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan (khususnya pendidikan agama) di Indonesia
- Mendiskusikan serta mencari solusi alternatif atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia
- Sebagai wujud kepedulian bersama akan nasib dan masa depan pluralitas serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Sebagai wujud implementasi visi-misi ICRP dalam membangun serta mendorong budaya toleransi dan perdamaian
WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Rabu, 12 Desember 2012
Waktu : Pukul 08.30-17.00 WIB.
Tempat : Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta Pusat.
PEMBICARA
Adapun yang menjadi pembicara dalam sesi seminar sebagai rangkaian pembukaan konferensi 2012 ini diharapkan:
- Wahyuni Nafis: Sekolah Madania
- Bahruddin: Sekolah Qoryah Thoyyibah
- Henny Supolo: Yayasan Cahaya Guru
- Romo Johanes Hariyanto (ICRP)
PERSERTA
Kegiatan Konferensi Tahunan ICRP ini akan melibatkan atau dihadiri oleh sekitar 100 orang, yang berasal dari berbagai kalangan. Antara lain sebagai berikut;
- Pimpinan Lembaga/Komunitas Keagamaan dan Penghayat Kepercayaan
- Akademisi
- Media
- Dewan Kehormatan ICRP, Dewan Penasehat ICRP, dan Pengurus ICRP
- NGO/LSM, Ormas, aktivis pro-demokrasi dan individu-individu